Dia adik kelasku selang beberapa tahun. Sewaktu kuliah aku mengenalnya sebagai perempuan muda yang ceria, bersemangat dan aktif di kampus. Setelah lulus aku tak banyak berhubungan dengannya kecuali via lintasan linimasa Facebook. Setahun terakhir kami banyak berhubungan kembali karena sempat ada rencana kolaborasi bersama.
Cerita demi cerita, setelah lulus dia sempat bekerja di beberapa tempat, kebanyakan berhubungan dengan dunia pendidikan dan kehumasan. Rencana hidupnya banyak berbelok setelah bertemu dengan jodohnya. Setelah menikah dia mendampingi suaminya yang PNS bekerja di Sulawesi. Tak selang lama diapun mengandung, melahirkan, lalu membesarkan putrinya.
Saat awal kami banyak berinteraksi kembali, dia sering mengungkapkan kerinduannya untuk kembali bekerja. Suaminya tidak sepenuhnya melarangnya, hanya memintanya untuk bersabar. Menunggu mereka bisa kembali ke Jawa, menunggu putri mereka lebih besar.
Aku menangkap banyak perasaan tertahan dalam cerita-ceritanya. Rindu beraktivitas profesional dan memiliki penghasilan sendiri. Rindu tak hanya berkutat di urusan rumah. Rindu bicara dan berbagi dengan sesama orang dewasa.
Ada juga cemburu. Cemburu pada kisah teman-temannya yang melanglang buana sekolah lagi. Cemburu pada teman yang sukses berkarir. Cemburu pada kehidupan yang dulu sempat diidamkan.
Bukan. Dia bukan menyesali keputusan hidupnya. Semua yang dia miliki sekarang sangat dia syukuri. Suami yang baik, anak lucu yang sehat, keluarga yang mendukung setiap langkah hidupnya. Dia hidup penuh barokah. Tapi salahkah bila kadang dia rindu dan cemburu?
Sekadar satu potret kehidupan pasca kampus.
Comments
Post a Comment