Skip to main content

Ibu Versi Beta

Okey, a beta version mom. That's pretty much describing me.

Apakah aku seorang ibu? Hm, bila faktanya aku sudah mengandung, melahirkan, menyusui, lalu memastikan anakku tidak lapar ataupun sakit, selalu bersih dan bisa tidur nyenyak, ya kurasa aku seorang ibu.

Tapi kurasa aku belum (jika bukan tidak) menjadi ibu. Being a mother. And not just doing a job as a mother. Karena aku tidak sabaran menghadapi tingkah anakku, terlalu sering mengomelinya, tidak kreatif menemaninya bermain, dan seringkali lebih tenggelam bersama gawaiku daripada menatap dalam-dalam matanya.

Anakku sudah 'sekolah' dari umur 18 bulan. Ya tentu karena aku bekerja kantoran. Dilematis? Awalnya. Tapi kemudian aku bersyukur. Belum tentu waktunya bersamaku lebih berkualitas dibanding bersama bu guru, pengasuh dan teman-temannya. Bukan karena aku tidak ingin bersamanya tapi ya bagaimana ya... Mungkin karena memang peran domestik bukanlah bakat terbaikku. No, really! Tipe kepribadian ENTP adalah tipe kedua terbanyak yang tidak berbakat urusan ini. Aku pernah membacanya dalam sebuah riset tentang MBTI.

Oke, abaikan soal bakat. Di atas ketidaknyamananku dengan pekerjaan rumah tangga, sepertinya ada alasan lain. Mungkin karena aku cukup sadar bahwa aku tidak sepenuhnya equipped menjadi ibu. Kurang waras misalnya. Tapi mungkin juga karena ini belum waktunya saja. Kurasa aku akan menjadi ibu yang keren. Saat Aray sudah umur belasan dan bisa lebih diajak diskusi, berbagi ide dan pemikiran. Akan sangat menyenangkan. Tapi mungkin tidak sekarang.

Aku masih di versi beta.

Comments

Popular posts from this blog

19

Sejak kapan saya suka angka 19? Mungkin sejak SD, sejak kenal bilangan prima. Ya, 19 adalah bilangan prima, yang istimewa, berdiri sendiri, tidak memiliki bilangan faktor, tidak bisa dibagi bilangan lain selain satu dan dirinya sendiri.  Sejak itu, sepertinya angka 19 selalu punya makna tersendiri untukku. Salah satu kecenganku waktu SMP ultahnya jatuh di tanggal 19, walau sekarang aku sudah tak yakin, bulan Januari atau Februari ya hahaha.  Kalau dipikir, umur 19 juga istimewa karena mulai kenal @hysa. Apalagi setelah sadar kalau dies natalis fakultas kami selalu jatuh di tanggal 19 juga, tepatnya 19 September dan untuk di universitas 19 Desember. Begitu juga dengan beberapa tanggal wisuda kampus, selalu dijadwalkan di tanggal atau sekitar tanggal 19, empat kali dalam setahun. Tak heran juga akhirnya ketika mencari satu tanggal istimewa pengikat janji di musim kemarau, kami jatuhkan di 19 Juli. 190709 Bukan, ini bukan tulisan tema anniversary. Sekadar lintasan ide mengisi wak...

Perpetual Sadness

Dari Rabu atau Kamis denger pertama kabar Nanggala, hatiku remuk. Secara logika udah kuat banget dugaan mereka ga akan selamat. Kesedihan mulai merayapiku. Mulai kerasa sedih ga jelas Ga mood ngapa-ngapain Rasa kehilangan akan entah apa Kebayang kamu ga ada Hatiku lebih remuk lagi Kalo sampe itu terjadi Mulai muter lagu2 sedih Lagu Linkin Park paling kena sih Mungkin karena Chester nya Mungkin karena walau sedih tetap terasa kuat Menambah rasa ironi Sabtu malam dinyatakan tenggelam Ucapan duka bertebaran Rasa sedih menyeruak Minggu lebih banyak berita detail Ditemukan terbelah tiga Memuncak sedih ini Rasa kehilangan yang besar dan dalam Berusaha menghibur diri Namun dengan rasa bersalah Karena sepertinya dunia malah baru mulai berduka Tapi aku sudah hampir tenggelam Dalam kesedihan Mulai nonton dan baca berita berita analitis terkait, berusaha merasionalisasi kenyataan Tak terhindarkan Di luar kendali siapapun Lepaskan Ayo lanjutkan hidup

Understanding and Curing Limerence

(Excerpt from limerence .net , nothing was written by me) The phases of limerence Like other addictions, we see limerence originating from early life psychological wounding. We use it to fill a hole in our soul.  We  describe  limerence as the mother of all distractions and when working with clients in limerence we are  curious to uncover what is it the person avoiding dealing with?  So often there is deep unresolved emotional pain. The client has protected themselves by covering their hearts over the years and decades with layers and layers of reinforced concrete.  This was a survival mechanism necessary from growing up in a dysfunctional and often narcissistic family system. The reality is limerence never lasts – typically it spans from 6-36 months. Just long enough for us to pair-bond and continue the survival of the species. Recent advances in neuroimaging and neurochemistry are now mapping out these pathways for romantic love. We als...