Skip to main content

Rindu

Halo, kamu yang disana. 
 
Thanks for being the highlight of my day. And even maybe of my week.  
Melihatmu duduk di sana menyesaki relung hatiku dengan rasa. Dan asa.  
Of falling in love again. 
 
Aku selalu merasa sebagai jenis orang mudah jatuh cinta. Pada kerlip bintang di langit. Pada sepoi angin di antara dedaunan. Pada riuh rendah suara di kampus. Pada sinaran yang menyelinap di sela-sela jendela. Dan tentu pada laki-laki. Siapapun dia. Bahkan bisa kubilang, beri aku satu jam -atau bahkan kurang- untuk berbincang dengan seorang lelaki. Maka, voila, aku bisa tunjukkan lima alasan atau hal yang bisa membuat perempuan jatuh cinta padanya. Sayangnya, bakatku ini datang bersama kutukan yang setara. Aku tak mudah mencintai siapapun.
 
Seperti kubilang di awal, kamu berhasil membuatku merasakan jatuh cinta lagi.  
So, whats the big deal? Well, because it’s been a long time, Honey!
 
Pada satu titik dalam hidupku, aku mendapatkan banyak hal penuh berkah, dan sekaligus kehilangan banyak hal. Pasangan, pekerjaan, anak, rumah, sebuah keluarga: “kemapanan”. Kutukar dengan fleksibilitas, otonomi, keleluasaan, pilihan yang terbuka, “kebebasan”. Setidaknya kupikir memang begitu lazimnya.
 
Hingga sore tadi setelah berjumpa denganmu. Tiba-tiba terlintas semua, begitu saja! 
Kamu dan teman-temanmu, merasakan banyak hal untuk pertama kalinya. Ospek, kuliah pertama, makrab pertama, dosen pertama, ujian pertama, cinta pertama di bangku kuliah, dan banyak hal pertama lainnya. Ive been there! Dan bagiku itu adalah masa-masa paling “hidup” dalam hidupku! Bahkan di semester kedua, tahun kedua, ketiga, dan masa-masa selanjutnya. Aku jatuh cinta berkali-kali, dengan begitu banyak hal, dan tanpa jera. Hidupku saat itu selalu penuh semangat, keberanian, tantangan demi tantangan, dari kegiatan ke kegiatan, satu ide ke ide lainnya. So free, so spirited!
 
Oh, how great would it be? 
To fall in love again and again. 
Repeatedly. 
Every single day.
 
Aku bukannya tidak pernah mencoba. Beberapa kali berefleksi dan berkali-kali pula menemukan jawaban buntu yang sama. Bahwa siklus kehidupan memang ditakdirkan mengalir seperti ini. Roda tidak akan berputar kembali ke belakang. Aku kini adalah pohon kokoh besar yang menunduk penuh daun dan buah. Bukan bunga atau ilalang yang dengan santainya bermain bersama para burung dan hembusan angin.
 
Aku tidak sedang merutuki nasib. Bukan aku tidak menikmati hidup berkeluarga, atau sedang luput mensyukuri semua berkah yang mungkin masih banyak didambakan orang lain di luar sana. Hanya saja, rasanya sesak saat tersadar. Semuanya tidak akan pernah kembali seperti dulu.
 
Kurasa aku hanya kangen setengah mati. Mungkin ini rindu yang menusuk kalbu. 
Pada desir rasa itu. Gelora semangat itu. 
 
Oh, how I miss that so much. To fall in love in life. Over and over again.
 
Dan setelah sore tadi, maybe I will.
 
 
(kutulis 1 Oktober tahun 2015, kupost ulang sebagai pengingat)

 

Comments

Popular posts from this blog

19

Sejak kapan saya suka angka 19? Mungkin sejak SD, sejak kenal bilangan prima. Ya, 19 adalah bilangan prima, yang istimewa, berdiri sendiri, tidak memiliki bilangan faktor, tidak bisa dibagi bilangan lain selain satu dan dirinya sendiri.  Sejak itu, sepertinya angka 19 selalu punya makna tersendiri untukku. Salah satu kecenganku waktu SMP ultahnya jatuh di tanggal 19, walau sekarang aku sudah tak yakin, bulan Januari atau Februari ya hahaha.  Kalau dipikir, umur 19 juga istimewa karena mulai kenal @hysa. Apalagi setelah sadar kalau dies natalis fakultas kami selalu jatuh di tanggal 19 juga, tepatnya 19 September dan untuk di universitas 19 Desember. Begitu juga dengan beberapa tanggal wisuda kampus, selalu dijadwalkan di tanggal atau sekitar tanggal 19, empat kali dalam setahun. Tak heran juga akhirnya ketika mencari satu tanggal istimewa pengikat janji di musim kemarau, kami jatuhkan di 19 Juli. 190709 Bukan, ini bukan tulisan tema anniversary. Sekadar lintasan ide mengisi wak...

Perpetual Sadness

Dari Rabu atau Kamis denger pertama kabar Nanggala, hatiku remuk. Secara logika udah kuat banget dugaan mereka ga akan selamat. Kesedihan mulai merayapiku. Mulai kerasa sedih ga jelas Ga mood ngapa-ngapain Rasa kehilangan akan entah apa Kebayang kamu ga ada Hatiku lebih remuk lagi Kalo sampe itu terjadi Mulai muter lagu2 sedih Lagu Linkin Park paling kena sih Mungkin karena Chester nya Mungkin karena walau sedih tetap terasa kuat Menambah rasa ironi Sabtu malam dinyatakan tenggelam Ucapan duka bertebaran Rasa sedih menyeruak Minggu lebih banyak berita detail Ditemukan terbelah tiga Memuncak sedih ini Rasa kehilangan yang besar dan dalam Berusaha menghibur diri Namun dengan rasa bersalah Karena sepertinya dunia malah baru mulai berduka Tapi aku sudah hampir tenggelam Dalam kesedihan Mulai nonton dan baca berita berita analitis terkait, berusaha merasionalisasi kenyataan Tak terhindarkan Di luar kendali siapapun Lepaskan Ayo lanjutkan hidup

Understanding and Curing Limerence

(Excerpt from limerence .net , nothing was written by me) The phases of limerence Like other addictions, we see limerence originating from early life psychological wounding. We use it to fill a hole in our soul.  We  describe  limerence as the mother of all distractions and when working with clients in limerence we are  curious to uncover what is it the person avoiding dealing with?  So often there is deep unresolved emotional pain. The client has protected themselves by covering their hearts over the years and decades with layers and layers of reinforced concrete.  This was a survival mechanism necessary from growing up in a dysfunctional and often narcissistic family system. The reality is limerence never lasts – typically it spans from 6-36 months. Just long enough for us to pair-bond and continue the survival of the species. Recent advances in neuroimaging and neurochemistry are now mapping out these pathways for romantic love. We als...