Skip to main content

Karir Impian: Jaman SD

Tak sedikit tokoh pendidikan dan pemerhati minat bakat yang menyebut tahun-tahun pertama kehidupan kita acapkali memberi petunjuk penting tentang bakat atau karir yang cocok untuk kita.

Saya tidak sedang memiliki keleluasaan waktu untuk mencari landasan ilmiah pernyataan di atas, jadi dalam sepotong tulisan ini saya akan berbagi kisah dan perenungan sederhana. Tentang bagaimana saya saat usia SD memandang minat, bakat, dan satu kata menyebalkan yang sering ditanyakan orang dewasa pada anak-anak: cita-cita.

Sejujurnya, saya tidak terlalu ingat masa kecil saya. Bisa dibilang ingatan saya buruk. Ingatan nama orang, ingatan surat-surat pendek, nama ibukota negara, atau ingatan tanggal peristiwa sejarah, mudah sekali menguap. Untungnya perekaman bahasa, logika dan makna saya tidak terlalu jelek. Jadi, silakan ragukan waktu tepatnya kejadian dalam tulisan ini.

Minat
Apa yang saya sukai saat SD? Yang saya enjoy lakukan? Hm, dari cerita keluarga, saya sangat menikmati membaca dan belajar. Wow. Bahkan menuliskannya pun saya tak sampai hati. Too good to be true.Tapi kenyataannya, waktu SD saya memang sangat suka membaca dan belajar. Tempat favorit? Di atas pohon jambu biji depan rumah. Buku-buku Enid Blyton jadi bacaan wajib, RPAL-RPUL-Buku Pintar Junior Senior jadi santapan rutin, dan kata ibu saya LKS yang harusnya untuk sebulan pasti saya tamatkan dalam seminggu. Duh, sangat akademis ya? Let's just say I have deep interest in learning.

Bakat
Hm, tidak begitu mengherankan dong kalo bakatku tidak jauh dari minatku. Bakat bahasa jelas mendominasi. Dan sepertinya juga sedikit bakat tampil/performing. Jaman SD di Bandung, saya sempat beberapa kali ikut lomba baca puisi, juga main kabaret di pentas akhir tahun. Selain bakat bahasa, people skill ku juga lumayan bagus sebagai anak SD. Mudah bergaul dengan orang, beradaptasi dalam banyak situasi sosial, bahkan dengan yang lebih tua. Satu lagi, entah ini bakat atau bukan, tapi Ibuku bilang saat anak lain main pasaran, jual-jualan, atau masak-masakan, aku hampir selalu bermain sekolah-sekolahan. Tentu saja dengan aku sebagai sang guru.

Cita-cita
Hanya ada dua yang teringat secara jelas, yakni menjadi guru dan menjadi profesor. Yang kedua terdengar konyol untuk anak SD, bukan? Baik, kita akan kesana sebentar lagi. Cita-cita menjadi guru, lagi-lagi kata Ibuku, tercetus di awal aku masuk SD. Kabarnya sih saking terpesonanya aku dengan sosok Bu Guru kelas 1 ku. Nah, kalo tentang jadi profesor, ini gara-gara waktu sekitar kelas 4 aku mengunjungi sodaraku, seorang Mbah (sepupu Mbahku) yang saat itu kebetulan memang profesor di UGM. Entah apa yang dihembuskan orang dewasa di sekitarku, begitu kembali dari Jogja, aku bercita-cita jadi professor. Definisiku saat itu, professor itu gurunya mahasiswa, orang dewasa. Weiss...

Itu sekian ceritaku tentang karir impianku jaman SD. Nantikan cerita masa SMP ku di postingan selanjutnya!

Sejarah diri kita akan selalu menjadi bagian dari apa dan siapa kita saat ini...

Wonosobo, 21.35

Comments

Popular posts from this blog

19

Sejak kapan saya suka angka 19? Mungkin sejak SD, sejak kenal bilangan prima. Ya, 19 adalah bilangan prima, yang istimewa, berdiri sendiri, tidak memiliki bilangan faktor, tidak bisa dibagi bilangan lain selain satu dan dirinya sendiri.  Sejak itu, sepertinya angka 19 selalu punya makna tersendiri untukku. Salah satu kecenganku waktu SMP ultahnya jatuh di tanggal 19, walau sekarang aku sudah tak yakin, bulan Januari atau Februari ya hahaha.  Kalau dipikir, umur 19 juga istimewa karena mulai kenal @hysa. Apalagi setelah sadar kalau dies natalis fakultas kami selalu jatuh di tanggal 19 juga, tepatnya 19 September dan untuk di universitas 19 Desember. Begitu juga dengan beberapa tanggal wisuda kampus, selalu dijadwalkan di tanggal atau sekitar tanggal 19, empat kali dalam setahun. Tak heran juga akhirnya ketika mencari satu tanggal istimewa pengikat janji di musim kemarau, kami jatuhkan di 19 Juli. 190709 Bukan, ini bukan tulisan tema anniversary. Sekadar lintasan ide mengisi wak...

Perpetual Sadness

Dari Rabu atau Kamis denger pertama kabar Nanggala, hatiku remuk. Secara logika udah kuat banget dugaan mereka ga akan selamat. Kesedihan mulai merayapiku. Mulai kerasa sedih ga jelas Ga mood ngapa-ngapain Rasa kehilangan akan entah apa Kebayang kamu ga ada Hatiku lebih remuk lagi Kalo sampe itu terjadi Mulai muter lagu2 sedih Lagu Linkin Park paling kena sih Mungkin karena Chester nya Mungkin karena walau sedih tetap terasa kuat Menambah rasa ironi Sabtu malam dinyatakan tenggelam Ucapan duka bertebaran Rasa sedih menyeruak Minggu lebih banyak berita detail Ditemukan terbelah tiga Memuncak sedih ini Rasa kehilangan yang besar dan dalam Berusaha menghibur diri Namun dengan rasa bersalah Karena sepertinya dunia malah baru mulai berduka Tapi aku sudah hampir tenggelam Dalam kesedihan Mulai nonton dan baca berita berita analitis terkait, berusaha merasionalisasi kenyataan Tak terhindarkan Di luar kendali siapapun Lepaskan Ayo lanjutkan hidup

Understanding and Curing Limerence

(Excerpt from limerence .net , nothing was written by me) The phases of limerence Like other addictions, we see limerence originating from early life psychological wounding. We use it to fill a hole in our soul.  We  describe  limerence as the mother of all distractions and when working with clients in limerence we are  curious to uncover what is it the person avoiding dealing with?  So often there is deep unresolved emotional pain. The client has protected themselves by covering their hearts over the years and decades with layers and layers of reinforced concrete.  This was a survival mechanism necessary from growing up in a dysfunctional and often narcissistic family system. The reality is limerence never lasts – typically it spans from 6-36 months. Just long enough for us to pair-bond and continue the survival of the species. Recent advances in neuroimaging and neurochemistry are now mapping out these pathways for romantic love. We als...